Malang, HAPRA Indonesia – Globalisasi adalah sebuah kata dalam lingkup umum, dimana seseorang gampang sekali terhanyut mengikuti segala hal baru tanpa memikirkan dampak yang terjadi di belakang nantinya.
Globalisasi adalah suatu proses tatanan masyarakat yang mendunia dan tidak mengenal batas wilayah.
Globalisasi pada hakikatnya adalah suatu proses dari gagasan yang dimunculkan, kemudian ditawarkan untuk diikuti oleh bangsa lain yang akhirnya sampai pada suatu titik kesepakatan bersama dan menjadi pedoman bersama bagi bangsa- bangsa di seluruh dunia.
Menyikapi hal tersebut banyak dari masyarakat yang khawatir akan semakin terpuruknya nilai-nilai keislaman yang tumbuh dan berkembang di bangsa ini, terlebih lagi globalisasi telah menyulap hal tersebut, sehingga bukan hal yang tabu lagi ketika marak di tengah lingkungan masyarakat.
Atau mungkin bisa jadi sudah menjadi makanan sehari-hari masyarakat.
Sekarang saja, sudah banyak di rasakan kehebohan hal itu, dari hal-hal kecil saja, misalnya tren busana yang semakin flugar, kecanggihan teknologi yang semakin menantang manusia, semakin pintarnya permainan otak yang tidak Islami.
Sedang hal seperti itu saja sudah jelas banyak orang mengatakan dunia setiap detik selalu dalam jajahan kehancuran.
Kehadiran globalisasi tentunya membawa pengaruh bagi kehidupan suatu negara termasuk Indonesia.
Pengaruh tersebut meliputi dua sisi yaitu pengaruh positif dan pengaruh negatif.
Pengaruh globalisasi di berbagai bidang kehidupan seperti kehidupan politik, ekonomi, ideologi, sosial budaya dan lain- lain akan mempengaruhi nilai- nilai nasionalisme terhadap bangsa.
Salah satu pengaruh positif dari globalisasi adalah dari globalisasi sosial budaya kita dapat meniru pola berpikir yang baik seperti etos kerja yang tinggi dan disiplin dan Iptek dari bangsa lain yang sudah maju untuk meningkatkan kemajuan bangsa yang pada akhirnya memajukan bangsa dan akan mempertebal rasa nasionalisme kita terhadap bangsa.
Dan pengaruh ynag negative mislanya mayarakat kita khususnya anak muda banyak yang lupa akan identitas diri sebagai bangsa Indonesia, karena gaya hidupnya cenderung meniru budaya barat yang oleh masyarakat dunia dianggap sebagai kiblat.
Dari dua hal tersebut sudah dapat di reka-reka, sebenarnya harus bersikap bagaimana tentang globalisasi yang melanda bangsa ini?.
Oleh sebab itu pendidikan dan pembimbingan terhadap generasi muda yang nantinya menyongsong masa depan, harus dibekali dengan ilmu-ilmu agama yang kuat juga keyakinan yang bisa di pegang.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan agama sekaligus pendidikan media dakwah, mampu menjadikan serta menuntun bagaimana menjadikan seseorang sebagi pemimpin yang mampu memilah-milah permasalahan secara prosedural.
Tidak hanya itu dengan adanya isu globalisasi yang semakin mendunia, sebuah pesantren tetap konsisten dalam prinsipnya.
Tidak berubah sama sekali ataupun malah mengikuti gaya penampilan yang sedang marak di perlihatkan.
Seharusnya pemikiran global, tapi tidak terlepas dari nilai-nilai keislaman.
Manusia terkadang cenderung meniru atau pun menjadikan panutan dalam hidup mereka ketika sudah melihat hal baru dan menarik, dibandingkan dengan hal lama yang di bilang katrok, kolot dan kuno.
Tidak salah juga, ketika ada anak muda yang mengatakan seperti itu, karena mereka hidup juga bukan di zaman purba lagi.
Namun tetap, satu hal yang perlu di perhatikan mengenai pendidikan serta pedoman iman.
Tak jarang pesantren dijadikan rujukan oleh para orang tua sebagai media pendidikan anak mereka.
Bahkan di bangsa ini sudah banyak pesantren yang berdiri, dengan fasilitas yang tentunya bisa disamakan dengan sekolah-sekolah luar lainnya.
Sehingga tidak diragukan lagi keunggulannya.
Dari pesantren seorang anak dapat memahami ilmu agama dan dijadikan sebagai pegangan ketika mereka melihat dunia luar yang di kuasai globalisasi, bisa dikatakan mereka tidak akan kaget atau terjkejut nantinya.
Disini, peran orang tua sangatlah diperlukan jika sewaktu-waktu anak berubah, ketika mendapati dunia luar yang ganas dan berbeda dengan kebiasaan pesantren yang penun aturan juga tata terrtib yang terkondisikan. Karena ketika pesantren dan globalisasi di sejajarkan tidak ada kata sama untuk dua hal tersebut.
Globalisasi bisa saja memakan pemahaman manusia tentang mode atau gaya hidup dan gaya berfikir, tapi idak akan memakan mode kehidupan pesantren yang akan tetap terjaga kuat.
Itulah sebabnya kenapa para ulama’ khawatir betul, jika pemahaman agama sampai dilupakan oleh umat, terutama kaum muda yang dalam bahasa gaulnya EGP, tentang bagaimana menyikapi globalisasi tanpa iman dan agama.
Jelas dirasakan oleh para jajaran ulama, karena globalisasi seorang wanita sholehah melepas tutup auratnya, membuka mahkota kepalanya dengan wajah tak berdosa, mengumbar aurat ketika meraka terlepas dari status agama.
Ketika seorang pria sudah lupa akan nilai-nilai agama, sama halnya juga melakukan hal senonoh, berbuat zina, melakukan tindak kriminal dan lain sebagainya.
Sungguh disayangkan, bangsa yang selama ini menjadi bangsa bermayoritas Islam, menjadi hancur karena penduduknya sendiri.
Oleh karenanya, pesantren sebagai wadah agamis, tidak akan rela juga tidak pernah mengajarkan anak didiknya menjadi manusia tanpa bekal ketika mereka keluar dari pesantren.
Sekalipun harus berperang dengan globalisasi ketika diluar, sudah ada bekal yang mampu mereka jadikan senjata ampuh yaitu iman sempurna, ilmu luas dan amal sejati.
Tapi jangan menjadikan sebuah pesantren sebagai dewa penyelamat, sementara globalisasi adalah momok menyeramkan yang harus ditakuti, itu tidak perlu, melainkan segala sesuatu yang datang di depan mata harus disikapi secara terbuka dan dipilah-pilah mana yang bisa dijadikan panutan terbaik dalam hidup, mana yang baik diambil dan diikuti tapi yang jelek ditinggalkan sehingga tidak juga disebut fanatik terhadap perkembangan zaman.(roy/ wik)