(Foto: Dok/HI) |
Kediri, hapraindonesia.co – Setelah sebelumnya, menggelar acara Doa Bersama antar Umat Beragama, lalu santunan ribuan anak yatim piatu, masih dalam rangka peringatan hari jadi Kota Kediri ke-1139 tahun 2018, dengan mengangkat tema “Kerja Bersama Dalam Harmoni” Pemerintah Kota Kediri kembali menggelar Upacara Manusuk Sima, Jumat (27/07/2018) pagi di Taman Tirtoyoso, Kuwak, Kota Kediri.
Kepala Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga (Disbudparpora) Kota Kediri Nur Muhyar menuturkan, upacara manusuk sima ini merupakan salah satu momen bersejarah mengenai Kota Kediri. Upacara ini merupakan simbol pemberian tanah bebas pajak dari Kerajaan Mataram kuno yang tertulis dalam Prasasti Kuwak.
Upacara Manusuk Sima ini diawali dengan Kirab Prasasti Kuwak. Prasasti ini berada di dalam sebuah peti khusus. Prasasti yang dibuat pada tahun 879 masehi ini dikeluarkan pada masa Kerajaan Mataram Kuno.
“Yaitu dimana diceritakan bahwa ada salah satu orang raja yang memberikan sebidang tanah kepada masyarakat Kediri. Nah, itu kemudian menjadi cikal bakal Kota Kediri ini,” Jelas Nur Muhyar.
Selain itu, masih lanjut kata Nur Muhyar mengatakan, upacara manusuk sima ini juga sebagai wujud syukur atas anugerah yang dilimpahkan kepada masyarakat Kota Kediri. Selain itu juga menjadi salah satu cara melestarikan budaya sejarah yang dimiliki oleh Kota Kediri.
“Alhamdulillah kita tetap bisa melaksanakan upacara ini untuk menjaga budaya-budaya luhur bangsa kita di tengah kemajuan teknologi dan kehidupan yang serba modern. Harapan besarnya, ini bisa memberi motivasi kepada kita semua karena memiliki tradisi dan sejarah besar,” paparnya.
Sementara itu Haji Subagiyo selaku budayawan asli kediri menilai, upacara manusuk sima ini merupakan visualisasi dari sebuah peristiwa yang telah ada di masa lalu. Ia menyamakan ritual ini seperti halnya Soekarno saat membacakan teks proklamasi.
“Ini peragaan dari Sapata Raja, yang memberikan hadiah Sawah Sima seluas empat tapak yang dibebaskan dari pajak negara diserahkan kepada pemerintahan yang ada di Kediri. Pada saat itu yang menjabat di sini adalah Huka Pucatura yang akhirnya menjadi tradisi yang kita uri-uri,” kata Haji Subagiyo.
Menurutnya lanjut Haji Subagiyo mengatakan, peristiwa tersebut terjadi sejak pada tahun 879 Masehi atau 801 Tahun Saka.
“Peristiwa tersebut sebagai bentuk perhatian pemerintah pusat untuk menghidupi Persada atau tempat-tempat ibadah pada zaman dahulu” tambah Haji Subagiyo.
(Adv/Hms)